Sabtu, 04 Juni 2016

TUGAS 3 PSIKOTERAPI

A. Terapi Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy)
1.      Pengertian Rational Emotive Therapy
Terapi Emotif Rasional adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualkan diri. Akan tetapi manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan yang tidak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungional dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri.
2.      Konsep Dasar Terapi Rasional Emotif
Konsep-konsep dasar terapi rasional emotif ini mengikuti pola yang didasarkan pada teori A-B-C, yaitu:
A   = Activating Experence (pengalaman aktif) Ialah suatu keadaan, fakta peristiwa, atau tingkah laku yang dialami individu.
B   = Belief System (Cara individu memandang suatu hal). Pandangan dan penghayatan individu terhadap A.
C   = Emotional Consequence (akibat emosional). Akibat emosional atau reaksi  ndividu positif atau negative.

Menurut pandangan Ellis, A (pengalaman aktif) tidak langsung menyebabkan timbulnya C (akibat emosional), namun bergantung pada B (belief system). Hubungan dan teori A-B-C yang didasari tentang teori rasional emotif dari Ellis dapat digambarkan sebagai berikut:
A--------C 
Keterangan:
--- : Pengaruh tidak langsung
 B : Pengaruh langsung
Teori A-B-C tersebut, sasaran utama yang harus diubah adalah aspek B (Belief Sistem) yaitu bagaimana caranya seseorang itu memandang atau menghayati sesuatu yang irasional, sedangkan konselor harus berperan sebagai pendidik, pengarah, mempengaruhi, sehingga dapat mengubah pola pikir klien yang  irasional atau keliru menjadi pola pikir yang rasional.
3.      Ciri-ciri Rational Emotive Therapy
Ciri-ciri tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a.    Dalam menelusuri masalah klien yang dibantunya, konselor berperan lebih aktif dibandingkan klien. Maksudnya adalah bahwasannya peran konselor disini harus bersikap efektif dan memiliki kapasitas untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien dan bersungguh-sungguh dalam  mengatasi masalah yang dihadapi, artinya konselor harus melibatkan diri dan berusaha menolong kliennya supaya dapat berkembang sesuai dengan keinginan dan disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya.
b.     Dalam proses hubungan konseling harus tetap diciptakan dan dipelihara hubungan baik dengan klien. Dengan sikap yang ramah dan hangat dari konselor akan mempunyai pengaruh yang penting demi suksesnya proses konseling sehingga dengan terciptanya proses yang akrab dan rasa nyaman ketika berhadapan dengan klien. 
c.    Tercipta dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah cara berfikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.
d.     Dalam proses hubungan konseling, konselor tidak banyak menelusuri masa lampau klien
4.      Tujuan Rational Emotive Therapy
Tujuan utama dari terapi ini yaitu meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik. Terapi ini mendorong suatu reevaluasi filosofis dan ideologis berlandaskan asumsi bahwa masalah-masalah manusia berakar secara filosofis, dengan demikian Terapi Emotif Rasional tidak diarahkan semata-mata pada penghapusan gejala, tetapi untuk mendorong klien agar menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar.
proses terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan suatu maksud utama yaitu: membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasikan suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasikan keyakinan-keyakinan dogmatis yang irasional dan takhayul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.

5.      Teknik – teknik Rational Emotive Therapy
Rational Emotive Behavior Therapy menggunakan berbagi teknik yang bersifat kognitif, afektif, behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien.  Teknik-teknik Rational Emotive Behavior Therapy sebagai berikut :
a.       Teknik-Teknik Kognitif
Adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien, ada empat tahap dalam teknik-teknik kognitif:
1)      Tahap Pengajaran
Dalam RET, konselor mengambil peranan lebih aktif dari pelajar. Tahap ini memberikan keleluasaan kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidak logikaan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien tersebut.
2)      Tahap Persuasif
Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Dan Konselor juga mencoba meyakinkan, berbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.
3)      Tahap Konfrontasi
Konselor mengubah ketidak logikaan berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir yang lebih logika.
4)      Tahap Pemberian Tugas
Konselor memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat kalau mereka  merasa dipencilkan dari pergaulan atau membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.
b.      Teknik-Teknik  Emotif
Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Antara teknik yang sering digunakan ialah:
1)      Teknik Sosiodrama
Memberi peluang mengekspresikan berbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan atau melalui gerakan dramatis.
2)      Teknik Self Modelling
Digunakan dengan meminta klien berjanji dengan konselor untuk menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia diminta taat setia pada janjinya.
3)      Teknik Assertive Training
Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya.
c.       Teknik-Teknik Behaviouristik
Terapi Rasional Emotif banyak menggunakan teknik behavioristik terutama dalam hal upaya modifikasi perilaku negatif klien, dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tidak rasional dan tidak logis, beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:
1)      Teknik reinforcement (penguatan), yaitu: untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward)ataupun hukuman (punishment). Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai-nilai dan keyakinan yang irasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang lebih positif.
2)      Teknik social modeling (pemodelan sosial), yaitu: teknik untuk membentuk perilaku-perilaku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara mutasi (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan maslah tertentu yang telah disiapkan konselor.
3)      Teknik live models 
Teknik live models (mode kehidupan nyata), yaitu teknik yang  digunakan untuk menggambar perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapanpercakapan sosial, interaksi dengan memecahkan maslah-masalah.
Peneliti menggunakan teknik kognitif dalam melaksanakan Rational Emotive Therapy (RET) sebab sesuai dengan permasalahan klien yaitu kurangnya rasa percaya diri. 


B.              Behaviour Therapy (Terapi Perilaku)
a.       Definisi Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah penggunaan prinsip dan paradigm belajar yang ditatpkan secara eksperimental untuk mengatasi perilaku tidak adaptif. Dalam prakteknya, terapi perilaku adalah penekanan pada analisis perilaku untuk menguji secara sistematik hipotesis mana terapi didasarkan.
b.      Tujuan Terapi Perilaku
1.      Mengubah perilaku yang tidak sesuai pada klien
2.      Membantu klien belajar dalam proses pengambilan keputusan secara lebih efisien.
3.      Mencegah munculnya masalah di kemudian hari.
4.      Memecahkan masalah perilaku khusus yang diminta oleh klien.
5.      Mencapai perubahan perilaku yang dapat dipakai dalam kegiatan kehidupannya.
c.       Teknik-Teknik Terapi Perilaku
1.      Desensitisasi sistematik dipandang sebagai proses deconditioning atau counterconditioning. Prosedurnya adalah memasukkan suatu respons yang bertentangan dengan kecemasan, seperti relaksasi. Individu belajar untuk relaks dalam situasi yang sebelumnya menimbulkan kecemasan.
2.      Flooding adalah prosedur terapi perilaku di mana orang yang ketakutan memaparkan dirinya sendiri dengan apa yang membuatnya takut, secara nyata atau khayal, untuk periode waktu yang cukup panjang tanpa kesempatan meloloskan diri.
3.      Penguatan sistematis (systematic reinforcement) didasarkan atas prinsip operan, yang disertai pemadaman respons yang tidak diharapkan. Pengkondisian operan disertai pemberian hadiah untuk respons yang diharapkan dan tidak memberikan hadiah untuk respons yang tidak diharapkan. 
4.      Pemodelan (modeling) yaitu mencontohkan dengan menggunakan belajar observasionnal. Cara ini sangat efektif untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan, karena memberikan kesempatan kepada klien untuk mengamati orang lain mengalami situasi penimbul kecemasan tanpa menjadi terluka. Pemodelan lazimnya disertai dengan pengulangan perilaku dengan permainan simulasi (role-playing).
5.      Regulasi diri melibatkan pemantauan dan pengamatan perilaku diri sendiri, pengendalian atas kondisi stimulus, dan mengembangkan respons bertentangan untuk mengubah perilaku maladaptif.
d.      Teori dasar Metode Terapi Perilaku
1.      Perilaku maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan (conditioned) atau dipelajari (learned)
2.      Terapi  untuk perilaku maladaptif adalah dengan penghilangan kebiasaan (deconditioning) atau ditinggalkan (unlearning)
3.      Untuk menguatkan perilaku adalah dg pembiasaan perilaku (operant and clasical conditioning)
e.       Fungsi dan Peran Terapis
Terapis tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para kliennya. Terapi tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkahlaku yang baru dan adjustive.
f.        Hubungan antara Terapis dan Klien
Pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik, peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis tingkah laku menghindari bermain peran yang dingin dan impersonal sehingga hubungan terapeutik lebih terbangun daripada hanya memaksakan teknik-teknik kaku kepada para klien.

C.              Terapi Kelompok (Group Therapy)
Pada tahun 1910 Jacob Mareno (Psikiater Austria) menggunakan teknik teater untuk mengembangkan interaksi dan spontanitas pasien dengan membawa problemnya pada setting kelompok, psikodrama (terapi kelompok). Harleigh B. Trecker mengatakan bahwa terapi kelompok merupakan suatu metode khusus yang memberikan kesempatan kepada individu-individu  dan kelompok-kelompok untuk tumbuh dalam setting-setting fungsional pekerjaan sosial, rekreasi serta pendidikan. Karena banyaknya pasien yang datang pada terapis, maka terapis menggunakan perawatan dalam kelompok. Faktor dinamik yang berkembang dalam situasi kelompok itu sendiri menampilkan faktor-faktor yang baru yang oleh beberapa terapis menganggap suatu kelebihan terhadap terapi individual.
Terapi kelompok terdiri atas beberapa bentuk, sebagian besar berasal dari jenis-jenis terapi individual :
1.    Kelompok Eksplorasi Interpersonal: Tujuan adalah mengembangkan kesadaran diri tentang gaya hubungan interpersonal melalui umpan balik korektif dari anggota kelompok yang lain. Pasien diterima dan didukung, oleh karena itu dapat meningkatkan harga diri. Tipe ini yang paling umum dilakukan.
2.    Kelompok Bimbingan Inspirasi: Kelompok yang sangat terstruktur kohesif, mendukung, yang meminimalkan pentingnya tilikan, dan memaksimalkan nilai diskusi didalam kelompok dan persahabatan. Kelompoknya mungkin saja besar (missal, Alcoholic Anonymus). Anggota kelompok dipilih seringkali karena mereka “mempunyai problem yang sama”
3.    Terapi Berorientasi Psikoanalitik: Suatu teknik kelompok dengan struktur yang longgar, terapis melakukan interprestasi tentang konflik nirsadar pasien dan memprosesnya dari observasi interaksi antar anggota kelompok.
Sejumlah tipe terapi kelompok yang lain antara lain:
1.      Terapi perilaku
2.      Gestalt
3.      Konfrontasi
4.      Psikodrama (Role Play)
5.      Analisis transaksional
6.      Marathon, dll.
Teknik Terapi Kelompok
Terapi kelompok dapat berlangsung beberapa minggu, beberapa bulan atau beberapa tahun, dan biasanya dilakukan seminggu sekali. Terdiri dari 5-12 anggota (bergantung pada tipenya). Terapis banyak dari disiplin ilmu dapat melakukan terapi kelompok, banyak terapi kelompok dilakukan dengan menyertakan ko-terapis. Beberapa kelompok terdiri dari pasien dengan hanya satu diagnosis (missal, Skizofrenia, Alkoholisme) tetapi ada juga yang campuran. Belum jelas pasien-pasien mana saja yang mendapat manfaat atau memburuk dengan terapi kelompok.
Metode Terapi Kelompok
Dalam praktek, terapi kelompok sangat bervariasi seperti halnya dengan terapi individual. Bentuk-bentuk paling awal terapi kelompok bersifat didaktis dimana pemimpin kelompok berceramah, meyakinkan, dan mengarahkan. Karena adanya perkembangan-perkembangan baru dibidang ini, pemimpin kelompok menjalankan fungsi yang sama untuk kelompok sama seperti yang dilakukan oleh terapis individual untuk pasiennya. Dia mendorong, mengungkapkan, memeriksa motif-motif, memberikan penafsiran-penafsiran, dan sedikit demi sedikit membangkitkan partisipasi masing-masing anggota kelompok dalam fungsi ini.
Kegunaan Terapi Kelompok
Partisipasi dalam pengalaman terapi kelompok akan menghilangian perasaan-perasaan terisolasi dalam diri pasien dan keunikan dari penyakitnya, dan demikian menghilangkan kecemasan-kecemasannya dan mendorongnya untuk membicarakan perasaan-perasaan batinnya dengan sepenuh hati.
Terapi kelompok juga memiliki beberapa keuntungan khusus, yaitu:
1.      Terapi kelompok lebih murah, krena beberapa pasien ditangani pada waktu yang sama.
2.      Format kelompok member peluang kepada pasien untuk mempelajari bagaimana orang lain mengalami masalah-masalah yang serupa menangani kesulitan-kesulitan mereka, dan para anggota lain dalam kelompok dan terapis memberi merekan dukungan social.
3.      Terapi kelompok memungkinkan terapis menggunakan sumber daya terbatas. Format kelompok mungkin meningkatkan jumlah orang-orang yang dapat ditangani oleh seorang terapis, dan dapat mengurangi kewajiban orang untuk menantikan giliran wawancara dengan terapis.
4.      Terapi kelompok dapat memberikan sumber informasi dan pengalaman hidup yang dapat ditimba oleh pasien.
5.      Adanya dukungan kelompok untuk tingkah laku yang tepat. Para pasien mungkin menginginkan terapis memberikan dukungan pada mereka, tetapi dukungan yang diberikan oleh kawan-kawan sekelompok mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan harga diri dan kepercayaan diri.
6.      Belajar bahwa masalah atau kegagalan yang dialami seseorang bukanlah hal-hal yang unik.
7.      Para anggota kelompok yang bertambah baik merupakan sumber pengharapan bagi anggota-anggota lain dalam kelompok.
8.      Adanya peluang-peluang untuk belajar menangani orang secara efektif.

Kekurangan Terapi Kelompok
1.      Tidak semua klien cocok : tertutup, masalah verbal, interaksi
2.      Peran terapis menyebar: menangani banyak orang sekaligus
3.      Sulit menumbuhkan kepercayaan: kurang personal
4.      Klien sangat tergantung dan beharap terlalu banyak pada kelompok
5.      Kelompok tidak dijadikan sarana untuk berlatih
6.      Membutuhkan terapis terlatih

REFERENSI:
Corey, G. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.
Howland, Rebeka. (1997). Psikiatri. Alih Bahasa: R.F Maulany. Jakarta: Penerbit Buku    Kedokteran EGC.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta: Kanisius
Tomb, D. A. (2003). Buku saku : psikiatri. Jakarta: EGC

W. S. Winkel. (1988). Bimbingan konseling di institusi pendidikan.Yogyakarta: PT Grasindo       Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar