Sabtu, 16 April 2016

Tugas 2 Psikoterapi

A.      Terapi humanistik eksistensialis
Tokoh dari humanistik eksistensial adalah Abraham Maslow yang terkenal dengan teori aktualisasi diri. Selain itu, ada tokoh lain dari humanistik eksistensial yaitu Carl Rogers yang dikenal dengan metoda terapi yang dikembangkannya, yaitu terapi yang berpusat pada klien (Client-Centered Therapy). Dasar dari terapi humanistik eksistensial adalah penekanan keunikan setiap individu serta memusatkan perhatian pada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan perwujudan dirinya. Teori humanistik eksistensial berfokus pada diri manusia. Pendekatan humanistik eksistensial merupakan suatu pendekatan yang berusaha mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, yakni memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi.
Dalam terapi ini para ahli tidak mencoba menafsirkan perilaku penderita, tetapi terapis bertujuan untuk memperlancar kajian pikiran dan perasaan seseorang dan membantunya memecahkan masalahnya sendiri. Pedekatan ini memberikan kontribusi yang besar dalam bidang psikologi, yakni tentang penekanannya terhadap kualitas manusia terhadap manusia yang lain dalam proses terapeutik. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam terapi humanistik eksistensial adalah terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered Therapy.
Terapis humanistik eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan bahwa kebebasan dan tanggung jawab berkaitan. Terapi humanistik eksistensial menekankan kondisi-kondisi inti manusia dan menekankan kesadaran diri sebelum bertindak. Kesadaran diri berkembang sejak seseorang masih bayi. Perkembangan kepribadian yang normal berlandasankan keunikan masing-masing individu.
1.      Konsep dasar pandangan humanistic eksistensialis tentang perilaku / kepribadian
Terapi Eksistensial humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem tehnik-tehnik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Eksistensial humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya.
Terapi eksistensial humanistik memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpateri pada eksistensial manusia, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreatifitas, kebebasan sikap etis dan rasa estetika.
Oleh karena itu, pendekatan eksistensial humanistik bukan justru aliran terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
 Pendekatan eksistensial humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial humanistik secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia, kesadaran diri, dan kebebasan yang konsisten.
Menurut teori dari Albert Ellis yang berhubungan dengan eksistensi manusia. Ia menyatakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat sebagai individu sebagai unik dan memiliki kekuatan untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan untuk merubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri-sendiri. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mengkonfrontasikan sistem-sistem nilainya sendiri dan menindoktrinasi diri dengan keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan dan nilai yang berbeda, sehingga akibatnya, mereka akan bertingkah laku yang berbeda dengan cara mereka bertingkah laku dimasa lalu. Jadi karena berfikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya bertambah, mereka bukan korban-korban pengondisian masa lalu yang positif.
Berdasar pendapat Ellis diatas, maka dapat diambil pengertian, bahwa setiap individu mempunyai kemampuan untuk merubah dirinya dari hal-hal yang diterimanya. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mempertahankan perasaannya sendiri dan dapat memberikan ajaran kembali kepada dirinya melalui keyakinan, pendapat, dan hal-hal yang penting lainnya. Disini pendekatan eksistensial humanistik adalah mengembalikan potensi-potensi diri manusia kepada fitrahnya. Pengembangan potensi ini pada dasarnya untuk mengaktualisasikan diri klien dan memberikan kebebasan klien untuk menentukan nasibnya sendiri dan menanamkan pengertian bahwa manusia pada fitrahnya bukanlah hasil pengondisian atau terciptanya bukan karena kebetulan. Manusia memiliki fitrah dan potensi yang perlu dikembangkan.

2.      Unsur – unsur terapi
1.      Munculnya Masalah atau Gangguan
Ketika kondisi inti manusia mulai berubah, serta serta munculnya kecemasan dan timbul pemikiran bahwa hidup tidak abadi, tidak dapat mengaktualisasi potensi diri dan tidak dapat menyadari potensi diri yang dimiliki.
2.      Tujuan Terapi
a.       Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi dasar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya.
b.      Meluaskan kesadaran diri klien dan meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
c.        Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekedar korban kekuatan-kekuatan deterministik diluar dirinya.
3.      Peran Terapis
Menurut Buhler dan Allen, para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:
a.       Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi. 
b.      Menyadari peran dari tanggung jawab terapis.
c.       Mengakui sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.
d.      Berorientasi pada pertumbuhan.
e.       Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi.
f.       Mengakui bahwa putusan dan pilihan akhir terletak di tangan klien.
g.      Memandang terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia secara implisit menunjukkan kepada klien potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
h.      Mengakui kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
i.        Bekerja ke arah mengurangi ketergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.

3. Teknik – teknik terapi
Teknik utama eksistensial humanistik pada dasarnya adalah penggunaan pribadi konselor dan hubungan konselor-konseli sebagai kondisi perubahan. Namun eksistensial humanistik juga merekomendasikan beberapa teknik (pendekatan) khusus seperti menghayati keberadaan dunia obyektif  dan subyektif klien, pengalaman pertumbuhan simbolik ( suatu bentuk interpretasi dan pengakuan dasar tentang dimensi-dimensi simbolik dari pengalaman yang mengarahkan pada kesadaran yang lebih tinggi, pengungkapan makna, dan pertumbuhan pribadi).
Pada saat terapis menemukan keseluruhan dari diri klien, maka saat itulah proses terapeutik berada pada saat yang terbaik. Penemuan kreatifitas diri terapis muncul dari ikatan saling percaya dan kerjasama yang bermakna dari klien dan terapis. Proses konseling oleh para eksistensial meliputi tiga tahap yaitu:
1.      Tahap pertama, konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
2.      Pada tahap kedua, klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari system mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
3.      Tahap ketiga berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka  pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya  dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaaan kebebasan pribadinya.
B. Person Centered Therapy (Rogers)
Carl  R. Rogers mengembangkan terapi clien centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan- keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client centererd adalah cabang dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomenalnya. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Menurut Rogers yang dikutip oleh Gerald Corey menyebutkan bahwa:’ terapi client centered merupakan tekhnik konseling dimana yang paling berperan adalah klien sendiri, klien dibiarkan untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap masalah yang tengah mereka hadapi. Hal ini memberikan pengertian bahwa klien dipandang sebagai partner  dan konselor hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri.
 Sedangkan menurut Prayitno dan Erman Amti  terapi client centered adalah klien diberi kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiran- pikirannya secara bebas.  Pendekatan ini juga mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasinya maslah sendiri.
Jadi terapi client centered adalah terapi yang berpusat pada diri klien, yang mana seorang konselor hanya memberikan terapi serta mengawasi klien pada saat mendapatkan pemberian terapi tersebut agar klien dapat berkembang atau keluar dari masalah yang dihadapinya.

1.         Konsep dasar pandangan Carl Rogers tentang perilaku atau kepribadian
Rogers sebenarnya tidak terlalu memberi perhatian kepada teori kepribadian. Baginya cara mengubah dan perihatian terhadap proses perubahan kepribadian jauh lebih penting dari pada karakteristik kepribadian itu sendiri. Namun demikian, karena dalam proses konseling selalu memperhatikan perubahan- perubahan kepribadian, maka atas dasar pengalaman klinisnya Rogers memiliki pandangan- pandangan khusus mengenai kepribadian, yang sekaligus menjadi dasar dalam menerapkan asumsi- asumsinya terhadap proses konseling.
Kepribadian menurut Rogers merupakan hasil dari interaksi yang terus- menerus antara organism, self, dan medan fenomenal. Untuk memahami perkembangan kepribadian perlu dibahas tentang dinamika kepribadian sebagai berikut:
1.  Kecenderungan Mengaktualisasi
Rogers beranggapan bahwa organism manusia adalah unik dan memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, mengontrol dirinya dan mengembangkan potensinya. 
2. Penghargaan Positif Dari Orang Lain
Self berkembang dari interaksi yang dilakukan organism dengan  realitas lingkungannya, dan hasil interaksi ini menjadi pengalaman bagi individu. Lingkungan social yang sangat berpengaruh adalah orang- orang yang bermakna baginya, seperti orang tua atau terdekat lainnya. Seseorang akan berkembang secara positif jika dalam berinteraksi itu mendapatkan penghargaan, penerimaan, dan cinta dari orang lain. 
3.    Person yang Berfungsi Utuh
Individu yang terpenuhi kekbutuhannya, yaitu memperoleh penghargaan positif tanpa syarat dan mengalami penghargaan diri, akan dapat mencapai kondisi yang kongruensi antara self dan pengalamannya, pada akhirnya dia akan dapat mencapai penyesuaian psikologis secara baik.

2.      Unsur – unsur terapi
1.      Munculnya Masalah atau Gangguan
Orang-orang memiliki kencenderungan dasar yang mendorong mereka ke arah pertumbuhan dan pemenuhan diri. Gangguan-gangguan psikologis pada umumnya terjadi karena orang lain menghambat individu dalam perjalanan menuju kepada aktualisasi diri.
2.      Tujuan Terapi
Menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membatu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh.
3.      Peran Terapis
Membantu menyesuaikan konsep diri klien dengan seluruh pengalamannya agar pengalaman tersebut tidak dialami sebagai ancaman terhadap konsep dirinya, tetapi sebagai sesuatu yang dapat diintergrasikan dalam sebuah konsep diri yang luas.

3.      Teknik – teknik terapi
Secara garis besar tekhnik terapi Client- Centered yakni:
a.         Konselor menciptakan suasana komunikasi antar pribadi yang merealisasikan segala kondisi.
b.          Konselor menjadi seorang pendengar yang sabar dan peka, yang menyakinkan konseli dia diterima dan dipahami.
c.         Konselor memungkinkan konseli untuk mengungkapkan seluruh perasaannya secara jujur, lebih memahami diri sendiri dan mengembangkan suatu tujuan perubahan dalam diri sendiri dan perilakunya.

C. Logoterapi (Frankl)
1.         Konsep dasar pandangan Frankl tentang perilaku atau kepribadian
Kata logoterapi berasal dari dua kata, yaitu “logo” berasal dari bahasa Yunani “logos” yang berarti makna atau meaning dan juga rohani. Adapun kata “terapi” berasal dari bahasa Inggris “theraphy” yang artinya penggunaan teknik-teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan suatu penyakit. Jadi kata “logoterapi” artinya penggunaan teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan suatu penyakit melalui penemuan makna hidup.
Logoterapi bertugas membantu pasien menemukan makna hidup. Artinya, logoterapi membuat si pasien sadar tentang adanya logo tersembunyi dalam hidupnya Logos dalam bahasa Yunani selain berarti makna (meaning) juga berarti rohani (spirituality). Dengan demikian, secara umum logoterapi dapat digambarkan sebagai corak psikologi yang dilandasi oleh filsafat hidup dan wawasan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi kerohanian, disamping dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan (termasuk dimensi sosial). Namun Frankl menyatakan bahwa spirituality atau keruhanian dalam logoterapi tidak mengandung konotasi agama, bahkan menyatakan ajaran logoterapi bersifat sekuler.
Logoterapi mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai kesatuan raga-jiwa-rohani yang tak terpisahkan. Seorang psikoterapis tidak mungkin dapat memahami dan melakukan terapi secara baik, bila mengabaikan dimensi rohani yang justru merupakan salah satu sumber kekuatan dan kesehatan manusia. Selain itu logoterapi memusatkan perhatian pada kualitas-kualitas insani, seperti hasrat untuk hidup bermakna, hati nurani, kreativitas, rasa humor dan memanfaatkan kualitas-kualitas itu dalam terapi dan pengembangan  kesehatan mental.  Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Oleh sebab itu Viktor Frankl (2004: 159-160) menyebutnya sebagai keinginan untuk mencari makna hidup, yang sangat berbeda dengan pleasure principle (prinsip kesenangan atau lazim dikenal dengan keinginan untuk mencari kesenangan) yang merupakan dasar dari aliran psikoanalisis Freud dan juga berbeda dengan will to power (keinginan untuk mencari kekuasaan), dasar dari aliran psikologi. Adler yang memusatkan perhatian pada striving for superiority (perjuangan untuk mencari keunggulan). Oleh karena itu, kenikmatan sekalipun tidak dapat memberi arti kepada hidup manusia. Orang yang dalam hidupnya terus menerus mencari kenikmatan, akan gagal mendapatkannya karena ia memusatkannya pada hal-hal tersebut. Orang itu akan mengeluh bahwa hidupnya tidak mempunyai arti yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitasnya yang tidak mengandung nilai-nilai yang luhur. Jadi yang penting bukanlah aktivitas yang dikerjakannya, melainkan bagaimana caranya ia melakukan aktivitas itu, yaitu sejauh mana ia dapat menyatakan keunikan dirinya dalam aktivitasnya itu. 

2.      Unsur – unsur terapi
1.      Tujuan Logoterapi
Agar dalam masalah yang dihadapi klien dia bisa menemukan makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah tersebut.
2.      Fungsi dan Peran Terapis
a.       Menjaga hubungan yang akrab dan pemisahan ilmiah
b.      Mengendalikan filsafat pribadi
c.       Terapis bukan guru atau pengkhotbah
d.      Memberi makna lagi pada hidup
e.       Memberi makna lagi pada penderitaan
f.       Menekankan makna kerja
g.      Menekankan makna cinta
h.      Hubungan Klien dengan Terapis

3.      Teknik – teknik terapi
a.       Intensi paradoksikal
Dalam menjelaskan teknik intensi paradoksikal, Frankl memulai dengan membahas suatu fenomena yang disebut kecemasan antisipatori (anticipatory anxiety), yakni kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi dan atau gejala yang ditakutinya. Kecemasan antisipatori ini lazim dialami oleh para pengidap fobia.Teknik paradoxical intention (perlawanan terhadap niat), didasarkan pada dua fakta: pertama, rasa takut bisa menyebabkan terjadinya hal yang ditakutkan; kedua, keinginan yang berlebihan bisa membuat keinginan tersebut tidak terlaksana.  Rasa takut yang relistis, seperti rasa takut terhadap kematian, tidak bisa diobati melalui penafsiran yang psikodinamis; sebaliknya, rasa takut yang bersifat neurosis, seperti rasa takut untuk berada di tempat umum (agrophobia), tidak dapat disembuhkan melalui pemahaman filosofis). Meskipun demikian, logoterapi telah mengembangkan sebuah teknik khusus untuk menangani kasus-kasus seperti itu.
b.      Derefleksi
Untuk menjelaskan prinsip derefleksi, Frankl kembali  menggunakan kecemasan antisipatori sebagai titik tolak. Menurut Frankl, pada kasus dimana kecemasan antisipatori menunjukkan pengaruhnya yang kuat, kita bisa mengamati fenomena yang cukup menonjol, yakni paksaan terhadap observasi diri atau pemaksaan untuk mengatasi diri sendiri. Istilah lain untuk fenomena tersebut adalah refleksi yang berlebihan (hyper-reflection). Di dalam etiologi suatu neurosis, menurut Frankl, kita sering menemukan pelebihan perhatian maupun keinginan.
c.       Bimbingan ruhani (Medical ministry)
Medical ministry merupakan salah satu metode logoterapi yang mula-mula banyak diterapkan dalam dunia medis, khususnya untuk kasus-kasus somatogenik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya prinsip-prinsip medical ministry diamalkan juga oleh profesi lain dalam kasus-kasus tragis non-medis yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan insani untuk mengambil sikap (to take a stand) terhadap keadaan diri sendiri dan keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi. Bimbingan rohani kiranya bisa dilihat sebagi ciri paling menonjol dari Logoterapi sebagai psikoterapi berwawasan spiritual. Sebab, bimbingan ruhani merupakan metode yang secara eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan sasaran penemuan makna oleh individu atau pasien melalui realisasi nilai-nilai bersikap. Jelasnya bimbingan rohani merupakan metode yang khusus digunakan pada penanganan kasus dimana individu dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau nasib buruk yang tidak bisa diubahnya dan tidak mampu lagi untuk berbuat selain menghadapi penderitaan itu
d.      Existential analysis
Pada prinsipnya, pendekatan logoterapi membantu penderita neurosis noogenik dan mereka yang mengalami kehampaan hidup dan frustasi eksistensial serta keluhan-keluhan tanpa makna lainnya. Tujuannya agar para penderita itu dapat menemukan sendiri makna hidupnya dan mampu menetapkan tujuan-tujuan hidupnya secara lebih jelas. Di samping itu, logoterapi juga lebih menyadarkan mereka terhadap tanggung jawab pribadi, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri dan hati nurani, keluarga dan masyarakat, maupun Tuhan. Dalam hal ini, tugas para terapis adalah membantu membuka cakrawala pandangan para penderita terhadap berbagai nilai yang secara potensial memungkinkan ditemukannya makna hidup. Selanjutnya dalam proses ini, kualitas-kualitas insani para klien dibangkitkan, bahkan ditantang untuk berani menentukan sikap, menetapkan tujuan dan sepenuhnya melibatkan diri dalam makna hidup yang ditemukannya. Pendekatan ini baru berhasil jika dilandasi hubungan antara klien dengan terapis yang saling menghargai dan saling percaya.
e.       Persuasif
Salah satu teknik yang digunakan dalam logoterapi adalah teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk mengambil sikap yang lebih konstruktif dalammenghadapi kesulitannya.


Sumber:
- Corey, G. ( 2009 ).  Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.     Bandung: Refika Aditama
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1-2005-bahtiyarz-565-Bab3 110-2.pdf.
- Winkel, W S. ( 1987 ). Bimbingan dan praktek konseling dan psikoterapi.     Jakarta: PT. Gramedia.
Corey, G. (1995).  Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.  Bandung   : PT. Eresku.
Corey, Gerald. 1995. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press.
Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar



Tidak ada komentar:

Posting Komentar