A. Terapi humanistik eksistensialis
Tokoh dari humanistik eksistensial
adalah Abraham Maslow yang terkenal dengan teori aktualisasi diri. Selain itu,
ada tokoh lain dari humanistik eksistensial yaitu Carl Rogers yang dikenal
dengan metoda terapi yang dikembangkannya, yaitu terapi yang berpusat pada
klien (Client-Centered Therapy). Dasar dari terapi humanistik eksistensial
adalah penekanan keunikan setiap individu serta memusatkan perhatian pada
kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan perwujudan dirinya. Teori humanistik
eksistensial berfokus pada diri manusia. Pendekatan humanistik eksistensial
merupakan suatu pendekatan yang berusaha mengembalikan pribadi kepada fokus
sentral, yakni memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang
tertinggi.
Dalam terapi ini para ahli tidak mencoba
menafsirkan perilaku penderita, tetapi terapis bertujuan untuk memperlancar
kajian pikiran dan perasaan seseorang dan membantunya memecahkan masalahnya
sendiri. Pedekatan ini memberikan kontribusi yang besar dalam bidang psikologi,
yakni tentang penekanannya terhadap kualitas manusia terhadap manusia yang lain
dalam proses terapeutik. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam terapi
humanistik eksistensial adalah terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered
Therapy.
Terapis humanistik eksistensial berpijak
pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan bahwa kebebasan dan
tanggung jawab berkaitan. Terapi humanistik eksistensial menekankan
kondisi-kondisi inti manusia dan menekankan kesadaran diri sebelum bertindak.
Kesadaran diri berkembang sejak seseorang masih bayi. Perkembangan kepribadian
yang normal berlandasankan keunikan masing-masing individu.
1. Konsep dasar pandangan humanistic eksistensialis
tentang perilaku / kepribadian
Terapi
Eksistensial humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama
adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu
sistem tehnik-tehnik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Eksistensial
humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang
baik minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya.
Terapi eksistensial
humanistik memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni
sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpateri pada eksistensial
manusia, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi,
kreatifitas, kebebasan sikap etis dan rasa estetika.
Oleh
karena itu, pendekatan eksistensial humanistik bukan justru aliran terapi,
bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik suatu pendekatan yang mencakup
terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan
asumsi-asumsi tentang manusia.
Pendekatan
eksistensial humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, memberikan
gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa
manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung
mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial humanistik
secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia, kesadaran
diri, dan kebebasan yang konsisten.
Menurut
teori dari Albert Ellis yang berhubungan dengan eksistensi manusia. Ia
menyatakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara
biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat sebagai individu sebagai
unik dan memiliki kekuatan untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan untuk
merubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan
menolak diri-sendiri. Manusia mempunyai kesanggupan untuk mengkonfrontasikan
sistem-sistem nilainya sendiri dan menindoktrinasi diri dengan
keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan dan nilai yang berbeda, sehingga
akibatnya, mereka akan bertingkah laku yang berbeda dengan cara mereka
bertingkah laku dimasa lalu. Jadi karena berfikir dan bertindak sampai menjadikan
dirinya bertambah, mereka bukan korban-korban pengondisian masa lalu yang
positif.
Berdasar
pendapat Ellis diatas, maka dapat diambil pengertian, bahwa setiap individu
mempunyai kemampuan untuk merubah dirinya dari hal-hal yang diterimanya.
Manusia mempunyai kesanggupan untuk mempertahankan perasaannya sendiri dan
dapat memberikan ajaran kembali kepada dirinya melalui keyakinan, pendapat, dan
hal-hal yang penting lainnya. Disini pendekatan eksistensial humanistik adalah
mengembalikan potensi-potensi diri manusia kepada fitrahnya. Pengembangan
potensi ini pada dasarnya untuk mengaktualisasikan diri klien dan memberikan
kebebasan klien untuk menentukan nasibnya sendiri dan menanamkan pengertian
bahwa manusia pada fitrahnya bukanlah hasil pengondisian atau terciptanya bukan
karena kebetulan. Manusia memiliki fitrah dan potensi yang perlu dikembangkan.
2. Unsur – unsur terapi
1.
Munculnya
Masalah atau Gangguan
Ketika kondisi inti manusia mulai
berubah, serta serta munculnya kecemasan dan timbul pemikiran bahwa hidup tidak
abadi, tidak dapat mengaktualisasi potensi diri dan tidak dapat menyadari
potensi diri yang dimiliki.
2.
Tujuan
Terapi
a.
Agar
klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi dasar atas
keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan
bertindak berdasarkan kemampuannya.
b.
Meluaskan
kesadaran diri klien dan meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi
bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
c.
Membantu
klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri
dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekedar korban
kekuatan-kekuatan deterministik diluar dirinya.
3.
Peran
Terapis
Menurut Buhler dan Allen, para ahli
psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:
a.
Mengakui
pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
b.
Menyadari
peran dari tanggung jawab terapis.
c.
Mengakui
sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.
d.
Berorientasi
pada pertumbuhan.
e.
Menekankan
keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi.
f.
Mengakui
bahwa putusan dan pilihan akhir terletak di tangan klien.
g.
Memandang
terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan
humanistiknya tentang manusia secara implisit menunjukkan kepada klien potensi
bagi tindakan kreatif dan positif.
h.
Mengakui
kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan
tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
i.
Bekerja
ke arah mengurangi ketergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.
3. Teknik – teknik terapi
Teknik utama eksistensial humanistik
pada dasarnya adalah penggunaan pribadi konselor dan hubungan konselor-konseli
sebagai kondisi perubahan. Namun eksistensial humanistik juga merekomendasikan
beberapa teknik (pendekatan) khusus seperti menghayati keberadaan dunia
obyektif dan subyektif klien, pengalaman pertumbuhan simbolik ( suatu
bentuk interpretasi dan pengakuan dasar tentang dimensi-dimensi simbolik dari
pengalaman yang mengarahkan pada kesadaran yang lebih tinggi, pengungkapan
makna, dan pertumbuhan pribadi).
Pada saat terapis menemukan
keseluruhan dari diri klien, maka saat itulah proses terapeutik berada pada
saat yang terbaik. Penemuan kreatifitas diri terapis muncul dari ikatan saling
percaya dan kerjasama yang bermakna dari klien dan terapis. Proses konseling
oleh para eksistensial meliputi tiga tahap yaitu:
1.
Tahap
pertama, konselor membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi
asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar
eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada
eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam
kehidupan mereka.
2.
Pada
tahap kedua, klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber
dan otoritas dari system mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman
baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik dan dianggap pantas.
3.
Tahap
ketiga berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka
pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai
barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan
kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam
perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien
sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaaan kebebasan
pribadinya.
B. Person Centered Therapy (Rogers)
Carl R. Rogers mengembangkan terapi clien centered
sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan- keterbatasan mendasar
dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client centererd adalah cabang
dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut
dunia subjektif dan fenomenalnya. Pendekatan client centered ini menaruh
kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan
menemukan arahnya sendiri. Menurut Rogers yang dikutip oleh Gerald Corey
menyebutkan bahwa:’ terapi client centered merupakan tekhnik konseling dimana
yang paling berperan adalah klien sendiri, klien dibiarkan untuk menemukan
solusi mereka sendiri terhadap masalah yang tengah mereka hadapi. Hal ini
memberikan pengertian bahwa klien dipandang sebagai partner dan konselor
hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien untuk bisa
berkembang sendiri.
Sedangkan menurut Prayitno dan Erman Amti terapi
client centered adalah klien diberi kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan
dan pikiran- pikirannya secara bebas. Pendekatan ini juga mengatakan
bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan
mampu mengatasinya maslah sendiri.
Jadi terapi client centered adalah terapi yang berpusat pada
diri klien, yang mana seorang konselor hanya memberikan terapi serta mengawasi
klien pada saat mendapatkan pemberian terapi tersebut agar klien dapat
berkembang atau keluar dari masalah yang dihadapinya.
1.
Konsep
dasar pandangan Carl Rogers tentang perilaku atau kepribadian
Rogers sebenarnya tidak terlalu memberi perhatian kepada
teori kepribadian. Baginya cara mengubah dan perihatian terhadap
proses perubahan kepribadian jauh lebih penting dari pada karakteristik
kepribadian itu sendiri. Namun demikian, karena dalam proses konseling
selalu memperhatikan perubahan- perubahan kepribadian, maka atas dasar pengalaman
klinisnya Rogers memiliki pandangan- pandangan khusus mengenai
kepribadian, yang sekaligus menjadi dasar dalam menerapkan asumsi-
asumsinya terhadap proses konseling.
Kepribadian
menurut Rogers merupakan hasil dari interaksi yang terus- menerus antara
organism, self, dan medan fenomenal. Untuk memahami perkembangan
kepribadian perlu dibahas tentang dinamika kepribadian sebagai berikut:
1. Kecenderungan Mengaktualisasi
Rogers
beranggapan bahwa organism manusia adalah unik dan memiliki kemampuan untuk
mengarahkan, mengatur, mengontrol dirinya dan mengembangkan potensinya.
2.
Penghargaan Positif Dari Orang Lain
Self
berkembang dari interaksi yang dilakukan organism dengan realitas
lingkungannya, dan hasil interaksi ini menjadi pengalaman bagi individu.
Lingkungan social yang sangat berpengaruh adalah orang- orang yang bermakna
baginya, seperti orang tua atau terdekat lainnya. Seseorang akan berkembang
secara positif jika dalam berinteraksi itu mendapatkan penghargaan, penerimaan,
dan cinta dari orang lain.
3. Person yang Berfungsi Utuh
Individu
yang terpenuhi kekbutuhannya, yaitu memperoleh penghargaan positif tanpa syarat
dan mengalami penghargaan diri, akan dapat mencapai kondisi yang kongruensi
antara self dan pengalamannya, pada akhirnya dia akan dapat mencapai
penyesuaian psikologis secara baik.
2. Unsur
– unsur terapi
1. Munculnya Masalah atau Gangguan
Orang-orang
memiliki kencenderungan dasar yang mendorong mereka ke arah pertumbuhan dan
pemenuhan diri. Gangguan-gangguan psikologis pada umumnya terjadi karena orang
lain menghambat individu dalam perjalanan menuju kepada aktualisasi diri.
2. Tujuan Terapi
Menciptakan
iklim yang kondusif bagi usaha membatu klien untuk menjadi seorang pribadi yang
berfungsi penuh.
3. Peran Terapis
Membantu
menyesuaikan konsep diri klien dengan seluruh pengalamannya agar pengalaman
tersebut tidak dialami sebagai ancaman terhadap konsep dirinya, tetapi sebagai
sesuatu yang dapat diintergrasikan dalam sebuah konsep diri yang luas.
3. Teknik
– teknik terapi
Secara
garis besar tekhnik terapi Client- Centered yakni:
a.
Konselor
menciptakan suasana komunikasi antar pribadi yang merealisasikan segala
kondisi.
b.
Konselor
menjadi seorang pendengar yang sabar dan peka, yang menyakinkan konseli dia
diterima dan dipahami.
c.
Konselor
memungkinkan konseli untuk mengungkapkan seluruh perasaannya secara jujur,
lebih memahami diri sendiri dan mengembangkan suatu tujuan perubahan dalam diri
sendiri dan perilakunya.
C. Logoterapi (Frankl)
1.
Konsep
dasar pandangan Frankl tentang perilaku atau kepribadian
Kata
logoterapi berasal dari dua kata, yaitu “logo” berasal dari bahasa Yunani
“logos” yang berarti makna atau meaning dan juga rohani. Adapun kata “terapi”
berasal dari bahasa Inggris “theraphy” yang artinya penggunaan teknik-teknik
untuk menyembuhkan dan mengurangi atau meringankan suatu penyakit. Jadi kata
“logoterapi” artinya penggunaan teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi atau
meringankan suatu penyakit melalui penemuan makna hidup.
Logoterapi
bertugas membantu pasien menemukan makna hidup. Artinya, logoterapi membuat si
pasien sadar tentang adanya logo tersembunyi dalam hidupnya Logos dalam bahasa
Yunani selain berarti makna (meaning) juga berarti rohani (spirituality).
Dengan demikian, secara umum logoterapi dapat digambarkan sebagai corak
psikologi yang dilandasi oleh filsafat hidup dan wawasan mengenai manusia yang
mengakui adanya dimensi kerohanian, disamping dimensi ragawi dan dimensi
kejiwaan (termasuk dimensi sosial). Namun Frankl menyatakan bahwa spirituality
atau keruhanian dalam logoterapi tidak mengandung konotasi agama, bahkan
menyatakan ajaran logoterapi bersifat sekuler.
Logoterapi
mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai kesatuan raga-jiwa-rohani
yang tak terpisahkan. Seorang psikoterapis tidak mungkin dapat memahami dan
melakukan terapi secara baik, bila mengabaikan dimensi rohani yang justru
merupakan salah satu sumber kekuatan dan kesehatan manusia. Selain itu
logoterapi memusatkan perhatian pada kualitas-kualitas insani, seperti hasrat
untuk hidup bermakna, hati nurani, kreativitas, rasa humor dan memanfaatkan
kualitas-kualitas itu dalam terapi dan pengembangan kesehatan
mental. Logoterapi percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna dalam
hidup seseorang merupakan motivator utama orang tersebut. Oleh sebab itu Viktor
Frankl (2004: 159-160) menyebutnya sebagai keinginan untuk mencari makna hidup,
yang sangat berbeda dengan pleasure principle (prinsip kesenangan atau lazim
dikenal dengan keinginan untuk mencari kesenangan) yang merupakan dasar dari
aliran psikoanalisis Freud dan juga berbeda dengan will to power (keinginan
untuk mencari kekuasaan), dasar dari aliran psikologi. Adler yang memusatkan
perhatian pada striving for superiority (perjuangan untuk mencari keunggulan).
Oleh karena itu, kenikmatan sekalipun tidak dapat memberi arti kepada hidup
manusia. Orang yang dalam hidupnya terus menerus mencari kenikmatan, akan gagal
mendapatkannya karena ia memusatkannya pada hal-hal tersebut. Orang itu akan
mengeluh bahwa hidupnya tidak mempunyai arti yang disebabkan oleh
aktivitas-aktivitasnya yang tidak mengandung nilai-nilai yang luhur. Jadi yang
penting bukanlah aktivitas yang dikerjakannya, melainkan bagaimana caranya ia
melakukan aktivitas itu, yaitu sejauh mana ia dapat menyatakan keunikan dirinya
dalam aktivitasnya itu.
2. Unsur
– unsur terapi
1. Tujuan
Logoterapi
Agar dalam masalah yang dihadapi klien dia bisa menemukan
makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu klien
akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah tersebut.
2. Fungsi
dan Peran Terapis
a. Menjaga hubungan
yang akrab dan pemisahan ilmiah
b. Mengendalikan filsafat
pribadi
c. Terapis bukan
guru atau pengkhotbah
d. Memberi makna lagi
pada hidup
e. Memberi makna
lagi pada penderitaan
f. Menekankan makna
kerja
g. Menekankan makna cinta
h. Hubungan Klien dengan
Terapis
3. Teknik
– teknik terapi
a. Intensi
paradoksikal
Dalam menjelaskan teknik intensi paradoksikal, Frankl
memulai dengan membahas suatu fenomena yang disebut kecemasan antisipatori
(anticipatory anxiety), yakni kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi
individu atas suatu situasi dan atau gejala yang ditakutinya. Kecemasan
antisipatori ini lazim dialami oleh para pengidap fobia.Teknik paradoxical intention
(perlawanan terhadap niat), didasarkan pada dua fakta: pertama, rasa takut bisa
menyebabkan terjadinya hal yang ditakutkan; kedua, keinginan yang berlebihan
bisa membuat keinginan tersebut tidak terlaksana. Rasa takut yang
relistis, seperti rasa takut terhadap kematian, tidak bisa diobati melalui
penafsiran yang psikodinamis; sebaliknya, rasa takut yang bersifat neurosis,
seperti rasa takut untuk berada di tempat umum (agrophobia), tidak dapat
disembuhkan melalui pemahaman filosofis). Meskipun demikian, logoterapi telah
mengembangkan sebuah teknik khusus untuk menangani kasus-kasus seperti itu.
b. Derefleksi
Untuk menjelaskan prinsip derefleksi, Frankl kembali
menggunakan kecemasan antisipatori sebagai titik tolak. Menurut Frankl,
pada kasus dimana kecemasan antisipatori menunjukkan pengaruhnya yang kuat,
kita bisa mengamati fenomena yang cukup menonjol, yakni paksaan terhadap
observasi diri atau pemaksaan untuk mengatasi diri sendiri. Istilah lain untuk
fenomena tersebut adalah refleksi yang berlebihan (hyper-reflection). Di dalam
etiologi suatu neurosis, menurut Frankl, kita sering menemukan pelebihan
perhatian maupun keinginan.
c. Bimbingan
ruhani (Medical ministry)
Medical ministry merupakan salah satu metode logoterapi yang
mula-mula banyak diterapkan dalam dunia medis, khususnya untuk kasus-kasus
somatogenik. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya prinsip-prinsip medical
ministry diamalkan juga oleh profesi lain dalam kasus-kasus tragis non-medis
yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan insani
untuk mengambil sikap (to take a stand) terhadap keadaan diri sendiri dan
keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi. Bimbingan rohani kiranya bisa
dilihat sebagi ciri paling menonjol dari Logoterapi sebagai psikoterapi
berwawasan spiritual. Sebab, bimbingan ruhani merupakan metode yang secara
eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan sasaran penemuan makna
oleh individu atau pasien melalui realisasi nilai-nilai bersikap. Jelasnya
bimbingan rohani merupakan metode yang khusus digunakan pada penanganan kasus
dimana individu dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan
atau nasib buruk yang tidak bisa diubahnya dan tidak mampu lagi untuk berbuat
selain menghadapi penderitaan itu
d. Existential
analysis
Pada prinsipnya, pendekatan logoterapi membantu penderita
neurosis noogenik dan mereka yang mengalami kehampaan hidup dan frustasi
eksistensial serta keluhan-keluhan tanpa makna lainnya. Tujuannya agar para
penderita itu dapat menemukan sendiri makna hidupnya dan mampu menetapkan
tujuan-tujuan hidupnya secara lebih jelas. Di samping itu, logoterapi juga
lebih menyadarkan mereka terhadap tanggung jawab pribadi, baik tanggung jawab
terhadap diri sendiri dan hati nurani, keluarga dan masyarakat, maupun Tuhan.
Dalam hal ini, tugas para terapis adalah membantu membuka cakrawala pandangan
para penderita terhadap berbagai nilai yang secara potensial memungkinkan
ditemukannya makna hidup. Selanjutnya dalam proses ini, kualitas-kualitas insani
para klien dibangkitkan, bahkan ditantang untuk berani menentukan sikap,
menetapkan tujuan dan sepenuhnya melibatkan diri dalam makna hidup yang
ditemukannya. Pendekatan ini baru berhasil jika dilandasi hubungan antara klien
dengan terapis yang saling menghargai dan saling percaya.
e. Persuasif
Salah satu teknik yang digunakan dalam logoterapi adalah
teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk mengambil sikap yang lebih
konstruktif dalammenghadapi kesulitannya.
Sumber:
- Winkel, W S. ( 1987 ). Bimbingan
dan praktek konseling dan psikoterapi. Jakarta: PT.
Gramedia.
Corey, G. (1995). Teori dan
Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT. Eresku.
Corey,
Gerald. 1995. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Palmer,
Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar